Kalau lo nonton Premier League di era 2015-an, nama Dele Alli pasti pernah nongol di kepala lo sebagai “The Next Big Thing”. Gelandang serang muda yang golnya gokil, selebrasinya nyentrik, dan gaya mainnya super confident. Tapi waktu berlalu, dan… Dele kayak menghilang. Apa yang terjadi?
Jawabannya gak sesimpel “drop performa.” Perjalanan Dele Alli tuh lebih dalam—soal tekanan, trauma, ekspektasi, dan akhirnya: usaha buat berdiri lagi.

Awal Karier: Anak Ajaib dari Milton Keynes
Dele Alli lahir 11 April 1996 di Milton Keynes, Inggris. Dia dibesarkan di lingkungan yang gak mudah—rumah broken, orang tua terpisah, dan masa kecil penuh tantangan. Tapi dari situ, muncul mentalitas petarung.
Dia gabung akademi MK Dons, dan langsung nyalip banyak pemain senior. Debut di usia 16, langsung main keren, dan tahun 2015 Tottenham Hotspur ngeluarin sekitar £5 juta buat boyong dia ke London Utara. Bagi Spurs, itu investasi yang berubah jadi jackpot.
Tottenham Hotspur: Ledakan Awal yang Bikin Inggris Gempar
Musim pertamanya (2015/16), Dele langsung jadi bahan obrolan:
- Cetak gol, bikin assist, dan ngasih energi brutal di lini tengah
- Punya kombinasi unik: skill, strength, dan mental cuek ala anak jalanan
- Usianya baru 19, tapi main kayak udah 27
Dia jadi partner sempurna buat Harry Kane, dan salah satu kunci dalam tim muda asuhan Mauricio Pochettino. Di musim 2016/17, Dele Alli cetak 18 gol di Premier League—buat gelandang, itu gak main-main.
Fans lawan boleh benci attitude-nya, tapi fans Spurs cinta mati. Waktu itu, semua orang percaya: Dele bakal jadi bintang global.
Gaya Main: Gelandang Serang Rasa Striker
Yang bikin Dele Alli beda dari playmaker lain:
- Timing masuk ke kotak penalti jago banget
- Bukan tipikal gelandang pegang bola lama—lebih ke insting dan positioning
- Punya body balance kuat, meski kelihatan kurus
- Tendangan first-time yang akurat dan cepat
- Gak takut duel fisik
Dia itu kayak Thomas Müller versi Gen Z—gak selalu flashy, tapi selalu muncul di tempat yang tepat.
Kemunduran: Cedera, Pergantian Pelatih, dan Krisis Identitas
Masuk tahun 2019–2020, performa Dele mulai turun. Cedera otot sering datang, pelatih berganti (Pochettino out, Mourinho in), dan peran di tim makin gak jelas.
José Mourinho pernah blak-blakan:
“You’re lazy in training.”
Dan sejak saat itu, kelihatan jelas hubungan mereka gak harmonis. Dele sempat main bagus sebentar, tapi gak konsisten. Dia kehilangan ritme, kepercayaan diri, dan… identitas di lapangan.
Fans mulai frustasi, media mulai nyinyir, dan haters makin kenceng. Tapi gak banyak yang tahu bahwa di balik semua itu, Dele juga lagi berjuang secara mental.
Transfer ke Everton dan Masa Gelap
Tahun 2022, Dele pindah ke Everton, berharap bisa mulai dari nol. Tapi di sana pun dia gak nemu bentuk permainan. Hanya main beberapa kali, tanpa kontribusi signifikan.
Dia sempat dipinjamkan ke Besiktas (Turki), tapi juga gak sukses. Di titik ini, banyak yang nulis “karier Dele Alli udah tamat.”
Padahal realitanya lebih rumit. Mental health Dele runtuh. Dia kemudian buka-bukaan di podcast Gary Neville tahun 2023, cerita soal:
- Dilecehkan waktu kecil
- Kecanduan tidur pakai obat
- Kehilangan rasa percaya diri sepenuhnya
- Dan akhirnya masuk rehab
Interview itu ngegetin banyak orang. Karena dari luar, Dele terlihat flamboyan dan cuek. Tapi ternyata, dia selama ini nanggung luka yang gak keliatan.
Momen Kebangkitan: Lebih dari Sekadar Comeback di Lapangan
Setelah menjalani proses pemulihan, Dele Alli bilang satu hal penting:
“Saya sekarang ngerti, bahwa saya layak untuk merasa lebih baik.”
Kalimat itu simple, tapi berat. Karena dia akhirnya sadar bahwa dia gak harus terus jadi “produk” buat fans atau klub. Dia harus sehat dulu, mental dan fisik.
Dia sekarang udah balik ke Everton, belum sepenuhnya fit, tapi motivasi dan semangatnya kelihatan beda. Bahkan pelatih dan rekan tim bilang dia lebih fokus dan serius.
Dele bilang target utamanya sekarang bukan jadi superstar lagi, tapi bisa bantu tim dan bangga sama dirinya sendiri.
Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Dele Alli?
- Talenta gak cukup kalau mental lo hancur.
Support system dan kesehatan mental itu penting banget. - Naik turun itu wajar.
Gak semua orang jalannya lurus. Tapi bangkit lebih penting. - Jangan cepat nge-judge.
Kita gak pernah tahu luka di balik sikap orang.
Apakah Dele Alli Bisa Comeback?
Secara fisik? Masih bisa. Umurnya baru 28 tahun. Dan dengan skill yang pernah dia tunjukkan, kalau dia bisa jaga fokus dan fit, dia bisa bantu tim Premier League dengan peran baru—mungkin bukan bintang utama, tapi mentor dengan pengalaman.
Dan bahkan kalau dia gak balik ke performa masa mudanya, perjalanan dia tetap layak dihormati. Karena dia bukan cuma bertarung di lapangan—dia bertarung buat hidupnya sendiri.
Warisan: Dari Wonderkid ke Pejuang Mental
Dele Alli adalah contoh nyata bahwa hidup pemain bola gak selalu tentang gol, assist, atau trofi. Kadang, cerita paling kuat justru datang dari yang jatuh paling keras tapi tetap bangun.
Dan buat banyak fans, Dele Alli sekarang bukan cuma pesepakbola—dia jadi simbol bahwa gak apa-apa untuk rapuh, asal lo terus mau sembuh.